Mantapkan
Hati untuk tetap Fokus ber Ibadah. Niatkan dengan Ikhlas, Sabar dan
Tawakal hanya untuk Allah. Ikuti Pelatihan Manasik Qolbu bersama Ustd.
ZAINURROFIEQ (Penulis buku “THE POWER OF KA’BAH). Dengan mengikuti
Manasik Qolbu, Insya Allah ibadah Para Jamaah dapat lebih bermakna
Suatu hari, selepas sholat subuh, disamping ka’bah, seseoarang yang
sedang umroh pernah bertutur pada saya sambil menangis. Ia bertanya pada
saya dengan nada mengeluh, “mengapa saya tidak melihat dan merasakan
sesuatu yang ajaib dalam perjalanan ke Ka’bah ini ? sebaliknya perasaan
saya justru hampa. Saya hanya melihat tumpuka batu yang ditutupi kain
hitam dan orang-orang tak henti-hentinya berdesakan berkeliling
disekitarnya. Selain harus bedesak-2an, tekadang saya juga tidak nyaman
dengan suhu udara yang terlalu panas. “
Sebelum
menjawab pertanyaan ini , saya teringat sebuah ungkapan dari Paul
T.Schele, “untuk berubah diperlukan pergeseran gelombang otak dari
pikiran sadar menjadi tuntunan bawah sadar.” Tanpa disadari, banyak
sekali orang berdatangan dari seluruh penjuru dunia ke kota Makkah
dengan harapan akan mendapatkan gelimangan berkah dan hikmah dari
Ka’bah. Namun, sesampainya disana, tidak banyak yang mereka dapatkan
kecuali hanya lelah dan gelisah. Belum lagi perasaan yang timbul karena
memikul beban ibadah yang berat, yang mau atau tidak mau harus kita
lakukan. Maka, muncullah anggapan dan kesimpulan bahwa ibadah ke Tanah
Suci adalah ibadah yang sangat “berat”. Kita tak mampu menikmati ibadah
sebagai pendekatan diri kepada Allah. Padahal, mereka adalah hamba-2
yang telah dipilih oleh Allah untuk datang dan berada ke Tanah Suci,
dengan tempat yang jauh berbeda dengan tempat-tempat lainnya yang ada
dimuka bumi ini. Jawaban yang tepat untuk kondisi seperti di atas, bisa
jadi karena minimnya kita memahami hakikat ibadah di Tanah Suci.
Sehingga, hasil yang didapat pun hanya sedikit bahkan tidak jarang tidak
mendapatkan apa-apa. Kita membutuhkan cara pandang yang tepat dalam
melihat dan memposisikan Ka’bah. Dibutuhkan pandangan hati yang bersih
dan tidak hanya mengandalkan pandangan kasat mata atau pikiran sadar.
Dilain
waktu, yaitu jelang sepertiga malam, saya pernah membawa jamaah Haji
satu grup, berkumpul di lantai dua masjidil Haram. Menjelang adzan
subuh, masih tersedia waktu 45 menit, saya tawarkan pertanyaan: “Siapa
yang ingin bertawaf sekarang?” Hampir semua jamaah menjawab dan melihat
ke bawah dengan kesan berat dan tidak siap untuk turun dan melakukan
tawaf pada sepertiga malam tersebut. Kemudian saya berdiri dan
sampaikan, kita sekarang berada pada tempat yang sungguh sangat luar
biasa yaitu pada sepertiga malam yang Allah sudah janjikan akan
memberikan “Maqam Mahmudan” (tempat terpuji) bagi siapapun yang berhasil
bangun dan beribadah pada waktu tersebut. Ditambah lagi saat ini kita
semua berada di pusaran energy positif yang sangat dahsyat karena
energy-energi positif yang dibawa diri masing-masing dari seluruh
penjuru dunia (minkulli fajjin ‘amiq) berkumpul di depan Ka’bah
tersebut. Ditambah lagi dengan kayakinan bahwa tepat diatas Ka’bah itu
adalah “Baitul Makmur” yaitu sebuah tempat bertawafnya para malaikat
yang tiada henti-hentinya. Terbayang betapa indah dan positifnya jikalau
kita berada di depan K’abah pada saat itu. Setelah saya sampaikan semua
itu, kembali saya lontarkan ajakan tadi, dan ternyata kali ini semuanya
antusias menjawab dengan penuh rasa rindu segera ikut berdesak-desakan
dengan kerumunan banyak orang di depan Ka’bah (Al-Mathaf).
Yang
menjadi garis penting dari cerita tersebut adalah adanya perubahan
mindset (sudut pandang) terhadap segala sesuatu yang ada dan terjadi di
Tanah Suci yang sangat dibutuhka oleh setiap jamaah. Ketika mindset
(sudut pandang)-nya sudah sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah, maka
benar pula tata laksana perjalanan ibadahnya. Betapa pentingnya merubah
mindset sebelum berangkat mendekatkan jiwa-jiwa kita sehari-hari.